tentangBugis Bone. Kata Kunci: Bugis, Sejarah Bugis, 1663. dan b) La Tondu, adalah nama yang diberikan kepadanya ketika hendak meninggalkan tanah Buton untuk pergi ke
Dalamrangka pengenalan terhadap lontarak ini akan dikemukakan uraian-uraian tentang hal-hal sebagai berikut : A. Arti lontarak. Dikalangan orang Bugis di Sulawesi Selatan terdapat bermacam-macam keterangan tentang arti lontarak, diantaranya ialah : 1. Kata lontarak berasal dari nama jenis pohon yang disebut pohon lontarak (pohon lontar).
Makanankhas Bugis Bone ini menjadi panganan yang sangat cocok untuk dinikmati bersama teh atau kopi saat bersantai. 7. Bandang-bandang. Beberapa makanan tersebut kemungkinan besar dapat ditemukan di daerah-daerah lain dengan nama berbeda. Bagi kalian yang berada di luar daerah Bone namun penasaran ingin mencicipi rasanya, tenang saja
SitusSejarah Bugis Bone. Situs Sejarah Bugis Bone merupakan lokasi atau tempat yang menjadi sejarah bagi rakyat Bugis Bone dan juga menjadi bagian tempat sejarah negara Indonesia. Lokasinya disekitar Watampone Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Bugis merupakan suku yang tergolong ke dalam suku-suku Melayu Deutero.
BupatiBone dari Masa ke Masa. Nama-nama yang Menjabat Bupati Bone sejak tahun 1951 sampai sekarang adalah sbb: Andi Pangerang Daeng Rani (Kepala Afdeling/Kepala Daerah) Tahun 1951-1955. H. Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim MatinroE ri Gowa (Kepala Daerah/Raja Bone) Tahun 1957 - 1960.
Bonedahulu disebut TANAH BONE. Berdasarkan LONTARAK bahwa nama asli Bone adalah PASIR, dalam bahasa bugis dinamakan Bone adalah KESSI (pasir). Dari sinilah asal usul sehingga dinamakan BONE. Adapun bukit pasir yang dimaksud kawasan Bone sebenarnya adalah lokasi Bangunan Mesjid Raya sekarang letaknya persis di Jantung Kota Watampone Ibu Kota
. SEJARAH Suku Bugis adalah suku yang tergolong ke dalam suku suku Deutero-Melayu, atau Melayu muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia tepatnya Yunan. Kata 'Bugis' berasal dari kata To Ugi, yang berarti orang Bugis. Penamaan "ugi" merujuk pada raja pertama kerajaan Tiongkok bukan negara Tiongkok, tapi yang terdapat di jazirah Sulawesi Selatan tepatnya Kecamatan Pammana Kabupaten Wajo saat ini yaitu La Sattumpugi. Ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai To Ugi atau orang-orang/pengikut dari La Sattumpugi. La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat karya sastra terbesar didunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opunna Ware Yang dipertuan di ware adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwuk Banggai, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi seperti Buton. PERKEMBANGAN Dalam perkembangannya, komunitas ini berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain. Masyarakat Bugis ini kemudian mengembangkan kebudayaan, bahasa, aksara, pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan Bugis klasik dan besar antara lain Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan sawitto Kabupaten Pinrang, Sidenreng dan Rappang. Meski tersebar dan membentuk etnik Bugis, tapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar. Saat ini orang Bugis tersebar dalam beberapa Kabupaten yaitu Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Pinrang, Sinjai, Barru. Daerah peralihan antara Bugis dengan Makassar adalah Bulukumba, sinjai, Maros, Pangkajene Kepulauan. Daerah peralihan Bugis dengan Mandar adalah Kabupaten Polmas dan Pinrang. MATA PENCAHARIAN Karena masyarakat Bugis tersebar di dataran rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan. Mata pencaharian lain yang diminati orang Bugis adalah pedagang. Selain itu masyarakat Bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. HUBUNGAN ASPEK SEJARAH Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad 16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Komunitas Bugis hampir selalu dapat ditemui didaerah pesisir di nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filipina, Brunei dan Thailand. Budaya perantau yang dimiliki orang Bugis didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan. Kepiawaian suku Bugis-Makasar dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb atau setingkat Kecamatan, yang bernama Maccassar, sebagai tanda tangan penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. BUGIS PERANTAUAN Kepiawaian suku Bugis dalam mengarungi samudra cukup dikenal luas, dan wilayah perantauan mereka pun hingga Malaysia, Filipina, Brunei, Thailand, Australia, Madagaskar dan Afrika Selatan. Bahkan, di pinggiran kota Cape Town, Afrika Selatan terdapat sebuah suburb yang bernama Maccassar, sebagai tanda penduduk setempat mengingat tanah asal nenek moyang mereka. PENYEBAB MERANTAU Konflik antara kerajaan Bugis dan Makassar serta konflik sesama kerajaan Bugis pada abad ke-16, 17, 18 dan 19, menyebabkan tidak tenangnya daerah Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang Bugis bermigrasi terutama di daerah pesisir. Selain itu budaya merantau juga didorong oleh keinginan akan kemerdekaan. Kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan. MASA KERAJAAN KERAJAAN BONE Di daerah Bone terjadi kekacauan selama tujuh generasi, yang kemudian muncul seorang To Manurung yang dikenal Manurungnge ri Matajang. Tujuh raja-raja kecil melantik Manurungnge ri Matajang sebagai raja mereka dengan nama Arumpone dan mereka menjadi dewan legislatif yang dikenal dengan istilah ade pitue. Manurungnge ri Matajang dikenal juga dengan nama Mata Silompoe. Adapun ade' pitue terdiri dari matoa ta, matoa tibojong, matoa tanete riattang, matoa tanete riawang, matoa macege, matoa ponceng. istilah matoa kemudian menjadi arung. setelah Manurungnge ri Matajang, kerajaan Bone dipimpin oleh putranya yaitu La Ummasa' Petta Panre Bessie. Kemudian kemanakan La Ummasa' anak dari adiknya yang menikah raja Palakka lahirlah La Saliyu Kerrempelua. pada masa Arumpone gelar raja bone ketiga ini, secara massif Bone semakin memperluas wilayahnya ke utara, selatan dan barat KERAJAAN MAKASSAR Di abad ke-12, 13, dan 14 berdiri kerajaan Gowa, Soppeng, Bone, dan Wajo, yang diawali dengan krisis sosial, dimana orang saling memangsa laksana ikan. Kerajaan Makassar Gowa kemudian mendirikan kerajaan pendamping, yaitu kerajaan Tallo. Tapi dalam perkembangannya kerajaan kembar ini Gowa & Tallo kembali menyatu menjadi kerajaan Makassar Gowa. KERAJAAN SOPPENG Di saat terjadi kekacauan, di Soppeng muncul dua orang To Manurung. Pertama, seorang wanita yang dikenal dengan nama Manurungnge ri Goarie yang kemudian memerintah Soppeng ri Aja. dan kedua, seorang laki-laki yang bernama La Temmamala Manurungnge ri Sekkanyili yang memerintah di Soppeng ri Lau. Akhirnya dua kerajaan kembar ini menjadi Kerajaaan Soppeng. KERAJAAN WAJO Sementara kerajaan Wajo berasal dari komune-komune dari berbagai arah yang berkumpul di sekitar danau Lampulungeng yang dipimpin seorang yang memiliki kemampuan supranatural yang disebut puangnge ri lampulung. Sepeninggal beliau, komune tersebut berpindah ke Boli yang dipimpin oleh seseorang yang juga memiliki kemampuan supranatural. Datangnya Lapaukke seorang pangeran dari kerajaan Cina Pammana beberapa lama setelahnya, kemudian membangun kerajaan Cinnotabbi. Selama lima generasi, kerajaan ini bubar dan terbentuk Kerajaan Wajo. Kerajaan pra-wajo yakni Cinnongtabi dipimpin oleh masing-masing La Paukke Arung Cinnotabi I, We Panangngareng Arung Cinnotabi II, We Tenrisui Arung Cinnotabi III, La Patiroi Arung Cinnotabi IV. setelahnya, kedua putranya menjabat sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V yakni La Tenribali dan La Tenritippe. Setelah mengalami masa krisis, sisa-sisa pejabat kerajaan Cinnotabi dan rakyatnya bersepakat memilih La Tenribali sebagai raja mereka dan mendirikan kerajaan baru yaitu Wajo. adapun rajanya bergelar Batara Wajo. Wajo dipimpin oleh, La Tenribali Batara Wajo I bekas arung cinnotabi V, kemudian La Mataesso Batara Wajo II dan La Pateddungi Batara Wajo III. Pada masanya, terjadi lagi krisis bahkan Batara Wajo III dibunuh. kekosongan kekuasaan menyebabkan lahirnya perjanjian La Paddeppa yang berisi hak-hak kemerdekaan Wajo. setelahnya, gelar raja Wajo bukan lagi Batara Wajo akan tetapi Arung Matowa Wajo hingga adanya Negara Kesatuan Republik Indonesia arm KONFLIK ANTAR KERAJAAN Pada abad ke-15 ketika kerajaan Gowa dan Bone mulai menguat, dan Soppeng serta Wajo mulai muncul, maka terjadi konflik perbatasan dalam menguasai dominasi politik dan ekonomi antar kerajaan. Kerajaan Bone memperluas wilayahnya sehingga bertemu dengan wilayah Gowa di Bulukumba. Sementara, di utara, Bone bertemu Luwu di Sungai Walennae. Sedang Wajo, perlahan juga melakukan perluasan wilayah. Sementara Soppeng memperluas ke arah barat sampai di Barru. Perang antara Luwu dan Bone dimenangkan oleh Bone dan merampas payung kerajaan Luwu kemudian mempersaudarakan kerajaan mereka. Sungai Walennae adalah jalur ekonomi dari Danau Tempe dan Danau Sidenreng menuju Teluk Bone. Untuk mempertahankan posisinya, Luwu membangun aliansi dengan Wajo, dengan menyerang beberapa daerah Bone dan Sidenreng. Berikutnya wilayah Luwu semakin tergeser ke utara dan dikuasai Wajo melalui penaklukan ataupun penggabungan. Wajo kemudian bergesek dengan Bone. Invasi Gowa kemudian merebut beberapa daerah Bone serta menaklukkan Wajo dan Soppeng. Untuk menghadapi hegemoni Gowa, Kerajaan Bone, Wajo dan Soppeng membuat aliansi yang disebut "tellumpoccoe".
Warga melintas di area Pantai Losari saat matahari terbenam di Makassar, Sulawesi Selatan. ANTARA FOTO/Arnas Padda Makassar, IDN Times - Beberapa waktu lalu, linimasa Twitter ramai membicarakan daftar nama-nama anak para figur publik yang dianggap unik. Di telinga orang awam mungkin terdengar unik dan tak biasa. Ada nama modern seperti Xabiru Oshe Al Hakim anak selebgram Rachel Vennya, Sky Tierra Solana anak komedian-sutradara Ernest Prakasa dan Satine Zaneta Putri Hujan anak aktor Abimana Aryasatya.Namun ada juga nama-nama yang menonjolkan unsur Jawa. Contohnya Btari Embun Anandayu anak pasutri selebriti Ananda Omesh-Dian Ayu, Trah Kandara Biru anak penulis Rahne Putri, Den Bagus Satrio Sasono anak pasutri selebriti Dwi Sasono-Widi Mulia serta tentu saja Jan Ethes Srinarendra, cucu Presiden Joko ada ungkapan berbunyi "apalah arti sebuah nama." Padahal, dari nama kita bisa menangkap rasa bangga atas identitas tradisional dari sang orangtua. Umumnya mereka berharap si buah hati tetap tak lupa akar leluhurnya. Tapi, apakah pemberian nama tradisional adalah hal wajib? Bagaimana budaya Sulawesi Selatan memandangnya?1. Bagi orangtua, ada identitas Bugis-Makassar yang hendak diabadikan dalam namaIlustrasi Para wanita suku Bugis di Makassar pada dekade 1930-an/Wikimedia Commons/Collectie Stichting Nationaal Museum van WereldculturenPindahkan cakupan fenomena ini ke Sulawesi Selatan. Semua orangtua pun menghadapi dilema serupa. Paparan modernisme membawa mereka dalam proses merancang dan memilah nama anak, sembilan bulan sebelum ia menyapa dunia. Sebagian menjalaninya dengan santai, namun tak jarang ini malah berujung rasa pening di kalem dipilih oleh Sabda Tarotrinarta, seorang dosen ilmu komunikasi Universitas Tadulako asal Makassar yang saat ini tinggal di Palu, Sulawesi Tengah. Ia menamai sang buah hati Jiwa Labbiri Tarotrinarta. Dalam bahasa Bugis, kata "labbiri" bermakna "mulia."Misi mengoper identitas kepada anak jadi alasannya. "Karena menurutku, salah satu hal yang bisa digunakan untuk menjaga nilai identitas kedirian adalah dengan melestarikan bahasa Bugis-Makassar dalam nama," ujar sosok yang juga berprofesi sebagai barista itu kepada IDN Times, Minggu 21/2/2021 sapaan akrabnya, memandang tak masalah menggunakan nama asing. Ia menyebut ini adalah hak dari masing-masing orangtua. Namun, ia menyebut hal tersebut menjadi aneh jika ternyata motif penamaan sebab ikut arus tren."Yang namanya tren takkan lama dan abadi. Kan tidak lucu hari ini kau atau anakmu bernama atau punya unsur Arab yang sedang tren, kemudian beberapa tahun ke depan diganti lagi namanya karena sudah tidak tren. Akan banyak ongkos pemotongan anak kambing," selorohnya, merujuk pada prosesi penggantian nama yang lazim Tinggal di ibu kota tak serta merta membuat orangtua asal Sulsel lupa dengan kampung halamanIlustrasi IDN Times/Anata Masalah identitas juga jadi fokus Ahmad Syarif Makkatutu. Bermukim di Jakarta tak membuatnya lupa dengan kampung halaman. Ia masih menyelipkan unsur Bugis di nama sang buah hati, Samasta Tumbuh sapaan akrabnya, memadukan tiga unsur sekaligus. "Samasta" adalah bahasa Sansekerta yang berarti "disatukan", sementara "pallawarukka" dalam bahasa Bugis bermakna "peredam bising." Semuanya serasi mengapit salah satu kosa kata yang selalu berkonotasi positif dalam bahasa Indonesia."Alasannya sih karena kami senang dengan segala sesuatu yang berbau budaya Indonesia, dan memasukkan unsur bahasa daerah ke dalam anak kami, agar kelak dia juga tertarik belajar soal identitasnya," demikian diungkapkan Aco saat dihubungi IDN Times, Senin, 22 jauh, pria yang berprofesi sebagai Brand Visual Leader di Narasi itu memandang perkara penamaan kembali kepada pilihan, pengalaman dan keterkaitan yang berbeda dengan budaya dari masing-masing orangtua."Bukan cuma unsur luar sekarang juga tren, kok. Ada nama-nama anak dengan unsur kata yang lugas. Contohnya 'Embun Pagi', 'Kala Senja', dan masih banyak lagi," papar Aco. Baca Juga Amanna Gappa, Aturan Bugis Kuno Penginspirasi Konvensi Laut Sedunia 3. Melalui nama, menegaskan identitas Indonesia sebagai negeri majemukANTARA FOTO/JojonIdentitas daerah akan selalu dibawa oleh sang anak ke mana pun ia pergi. Itulah yang menjadi ciri khasnya di lingkungan yang baru, meneguhkan Indonesia sebagai sebuah negeri majemuk. Hal tersebut dirasakan langsung Andy Makkaraseng, ketika menimba ilmu di sebuah perguruan tinggi kota Surabaya."Langsung ketahuan kalau asli dari Bugis-Makassar, meskipun belum menyebut tempat asal. Jadi lebih dikenal juga di kampus karena namanya unik," cerita lelaki yang berprofesi sebagai wiraswasta itu, Sabtu, 27 Februari kemarin."Dulu pernah nanya bapak soal arti nama, waktu itu diceritakan memang nama saya diambil dari nama buyut dari pihak bapak, yaitu Andi Makkaraseng," jelasnya. Jika menelusuri lembaran sejarah Sulsel, nama tersebut juga pernah tersemat untuk salah satu Anre Guru gelar untuk pemimpin pasukan elite Kerajaan Bone abad ke-18. Makkaraseng sendiri berasal dari bahasa Bugis kuno. Namun lantaran penuturnya sudah menyusut drastis, hanya tersisa pada Bissu selaku pemuka adat lama, nama tersebut nyaris tak pernah terdengar bahkan di Sulsel sekalipun."Kalau secara arti sendiri saya kurang paham. Tapi bisa jadi diambil dari kata 'karrasa' atau 'keras' sehingga bisa diartikan 'berpendirian keras,'" lanjut pria yang masih lajang Ternyata, masyarakat Bugis-Makassar cukup luwes untuk urusan penamaan anakPotret tiga laki-laki Makassar antara tahun 1910 hingga 1930. Tropenmuseum, part of the National Museum of World CulturesLantas bagaimana dengan pandangan lokal atas perkara nama? Apakah ada keharusan penggunaan unsur tradisional sebagai penanda identitas? Ternyata, masyarakat Bugis-Makassar cenderung cair menyikapi budaya luar. Sikap tersebut dibawa ke urusan penamaan."Orang Bugis dan Makassar adalah masyarakat bilateral, yang dikenal punya budaya lebih terbuka. Kita lebih gampang menerima infliltrasi budaya asing. Baik dalam peradaban, keseharian, dan pemberian nama," ujar seniman-budayawan Sulsel, Asmin Amin, Kamis 25 Amin, masyarakat bilateral tak ragu mengadopsi nama asing. Terlebih jika ada relasi emosional yang sudah terbangun lebih dulu. Misalnya ketika seseorang yang lahir dan besar di Jeneponto berteman akrab dengan orang dengan latar belakang Jawa. Si penduduk Jeneponto punya potensi tak ragu menggunakan nama sang karib asal Jawa."Saya ambil contoh lain. Ketika seseorang telah lama meninggalkan Sulsel dan menetap di Sumatra, bisa nama anak yang dipilih ada ciri Bataknya. Begitu juga jika telah tinggal di Singapura atau Kanada. Begitu pula nama dengan unsur Arab karena dipengaruhi ciri Islam. Itu penggunaan nama asing mudah sekali bagi masyarakat Bugis dan Makassar," lanjut Amin. Baca Juga Mantra Cenning Rara, Ilmu Pemikat Hati Warisan Leluhur Bugis Makassar 5. Tradisi penggunaan marga oleh suku Toraja tak lepas dari ciri masyarakat yang komunalPara penari Toraja dengan busana tradisional di Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Tropenmuseum, part of the National Museum of World CulturesSaat cakupan diperluas, tak hanya Bugis-Makassar, ada konsistensi suku Toraja dengan tradisi penggunaan marga tradisional. Mulai dari Paembonan, Rantetasak, Tandi, Masiku, Ampulembang dan masih banyak lagi. Menurut Amin, ini tak lepas dari budaya masyarakat Toraja yang berciri komunal."Pandangan orang Bugis-Makassar tentang penamaan berbeda dengan orang Toraja yang berciri masyarakat komunal, yang lebih dekat dengan tanah kelahirannya," jelas sosok yang pernah menjadi anggota DPR-RI itu. "Mereka konsisten menjaga penamaan-penamaan, tetap dijaga supaya tetap memiliki ciri Toraja. Diambil dari leluhur dan diturunkan pada anak dan cucu."Penggunaan marga mengingatkan pada kebiasaan penduduk lain seperti Jawa, Batak, Minang, Dayak, Karo, Maluku, Papua dan lain-lain."Masyarakat komunal punya kekerabatan yang kuat. Sehingga akan sangat susah jika ada marga lain untuk masuk, ada syarat-syaratnya."Ini sangat berbeda dengan Bugis-Makassar yang tak terikat keharusan mewariskan nama belakang ke anak atau Ada rasa bangga atas nama tradisional untuk anak, serta keinginan menjaga akar budayaIlustrasi anak bersama dengan orang tua IDN Times/Dwi Agustiar Namun, saat memandang dari kacamata lokalitas, nama tradisional untuk anak diakui menjadi salah satu cara merawat budaya. Entah dilakukan oleh pasutri dengan latar belakang suku berciri bilateral atau komunal."Memasukkan unsur tradisional dalam nama keturunan itu termasuk upaya melestarikan kebudayaan. Tapi di dalam masyarakat bilateral, itu tak menjadi syarat mutlak. Fenomena menggunakan nama dengan unsur asing, dalam masyarakat Bugis, itu biasa saja," jelas Asmin dengan nama yang disandang, Andy Makkaraseng berniat mewariskannya ke sang buah hati saat berkeluarga kelak. "Rencananya nama belakang saya jadikan marga biar gampang dikenal," Samasta Tumbuh Pallawarukka, Ahmad Syarif Makkatutu hendak memancing rasa ingin tahu sang buah hati agar kelak menelusuri mozaik-mozaik budaya Indonesia. "Minimal dimulai dari bertanya, 'Kenapa di dalam nama saya ada beberapa bahasa?' 'Makna namaku apa?' 'Itu bahasa apa?' dan seterusnya," Sabda Tarotrinarta punya harapan sederhana melalui nama Jiwa Labbiri Tarotrinarta. "Agar kelak, saya dan anak-anak nanti tidak pernah lupa dari mana berasal dan selalu memiliki tempat untuk pulang." Baca Juga Jalloq, Amukan Spontan Pemulih Harga Diri Orang Bugis-Makassar
nama nama bugis bone